Selasa, 30 November 2010

Ambiguity


            Language is a system which related meaning to sound for listener and speaker. Sound and meaning is duality. We can not separate words with their sounds and meanings. There are some words which are pronounced the same but having different meanings. We have known about homophones and homonyms. Homophones are words which have the same pronunciation but different spelling. Whereas homonyms are words which are pronounced and spelled identically. 
A word, phrase, or sentence which has more than one meaning is called ambiguity. Homonyms often create ambiguity. It becomes the barrier of comprehension. People need longer time to comprehend ambiguous sentences. However, do people always see ambiguous sentences as it? There are several theories dealing with this question.
This discussion will be divided into two parts. First part will discuss the notion of ambiguity and the second part talk about the comprehension of ambiguous sentences.
A.      The Notion of Ambiguity
  1. Lexical Ambiguity
            Lexical ambiguity is a type of ambiguity that occurs on the lexical level of word. The ambiguity exists when a word has more than one generally accepted meaning. For example, the spy is ready to attack. This sentence is ambiguous because the word spy has two meanings, an agent and an insect. Sometimes, the intended meaning is made clear by the additional context.
The spy is ready to attack the terrorist.
The spy is ready to attack its prey.
Others examples are:
  1. He took the right turn in the intersection
  2. She cannot bear children
  3. The man put a straw on a pile.
  1. Surface Structure Ambiguity
Surface structure ambiguity is a type of ambiguity that occurs because of the structure or syntax of the sentence. The sentence may have two different surface structures. As a result, the sentence will have two meanings. As illustrated in they are playing cards. This sentence has two meanings:
1) Those people, they are performing the act of playing cards
2) Those cards, they are not greeting cards, but playing cards
Here some examples:
  1. Agus saw the man with a telescope.
  2. Rahmanti hit the man with an umbrella.
  3. The French English student is coming.
  4. Rahmanto and Rahmanti or Warni frightened the baby.
  1. Deep Structure Ambiguity
Sentences which are ambiguous on the deep structure level of logical relationship is called deep or underlying structure ambiguity. Deep structure ambiguity is illustrated in the sentence, Flying planes can be dangerous. This sentence is ambiguous since it has two meanings: (1) the act of flying planes can be dangerous. (2) Planes that are flying can be dangerous.
Such example only has one surface structure. But it has two different deep structures. Other examples of deep structure ambiguity are seen in sentences below:
  1. Cheating students will not be tolerated.
  2. Visiting relatives can be dangerous.
  3. The horse is ready to ride.
  4. Warno loves Sutini more than Paijo.
There are some differences between surface structure ambiguity and deep structure ambiguity. Surface structure ambiguity sometimes can be disambiguated by pronouncing them differently, depending on the intended meaning. The deep structure ambiguity however can not be disambiguated.

Kelompok Manusia dan Bahasa



Kita sudah mengetahui bahwa bahasa dan masyarakat saling berkaitan. Bahasa berubah seiring perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat. Masyarakat adalah pengguna bahasa sehingga bagaimana wujud bahasa itu ditentukan oleh si pengguna. 
Masyarakat terbentuk dari kelompok-kelompok kecil yang bersatu membentuk satu komunitas yang akhirnya disebut masyarakat.  Menurut Penalosa (1981:39) setiap kelompok tersebut mempunyai bahasa masing-masing.  Mulai dari bahasa yang dipakai satu suku tertentu hingga bahasa yang dipakai secara nasional. Kelompok manusia juga memiliki nama tersendiri dan bagaimana mereka dipanggil menunjukkan sistem bahasa yang dipakai. Misalnya “Orang Jawa”, maka sudah pasti bahasa yang dipakai adalah bahasa Jawa. Selain itu juga menunjukkan budaya orang tersebut karena memang antara bahasa dan budaya tidak bisa dipisahkan.
Beberapa kelompok bisa terbentuk dalam beberapa kategori berdasarkan bidang yang ditekuni oleh sekelompok manusia. Mulai dari Kepolisian, kelompok dokter (Ikatan Dokter Indonesia), kelompok bisnis (Ikatan Pengusaha Muda Indonesia), hingga geng motor sekalipun. Masing-masing mempunyai bahasanya sendiri sesuai dengan bidang yang ditekuni di mana bahasa tersebut menjadi ciri khas dan ketika anggota kelompok memakai bahasa keolmpoknya kita bisa mengetahui kelompok apa dia. Bahasa yang dimaksud di sini adalah bahasa yang berupa sapaan, istilah, dan jargon yang hanya dimengerti oleh kelompok tersebut.
Kelompok lain yang menjadi perhatian adalah kelompok agama. Kelompok agama cenderung menggunakan bahasa yang suci. Bahasa suci tersebut adalah bahasa yang dipakai untuk peribadatan. Di sisi lain bahasa dijadikan sebagai focus aktivitas kelompok tertentu misalnya penerjemah, guru bahasa, dan tentu saja ahli bahasa.
Para Sosiologis membagi kelompok manusia menjadi dua yaitu kelompok primer dan kelompok sekunder. Kelompok primer merupakan kelompok yang menjadi tempat pembentukan kepribadian seseorang dan pemahaman norma-norma masyarakat yaitu keluarga dan bisa juga teman. Sedangkan kelompok sekunder adalah kelompok yang hubungan personalnya tidak kuat dan hanya didasarkan pada kebutuhan sementara misalnya tempat kerja, organisasi, partai, dsb.
Kelompok primer ,terutama keluarga, menjadi tempat di mana kita menguasai bahasa ibu kita dan belajar aturan penggunaan atau tata bahasanya. Kelompok primer, hidup bermasyarakat, dan penguasaan bahasa saling berkaitan erat. Kita bisa mengekspresikan diri kita yang seutuhnya hanya melalui bahasa ibu yang kita dapatkan di keluarga. Bahasa-bahasa tambahan kita peroleh melalui kelompok sekunder seperti sekolah, kepolisian, atau pasar.
Satu hal yang menjadi perhatian para ahli antropologi selama 3-4 dekade ini adalah hakikat hubungan antara bahasa dan aspek non bahasa dari budaya. Seperti kita ketahui bersama bahwa bahasa dan budaya sangat berkaitan. Penggunaan bahasa berkaitan dengan norma yang berlaku di masyarakat. Penggunaan bahasa yang bertentangan dengan norma seperti English four letter words (fuck), atau “asu” dan “bajingan” dalam bahasa Jawa, mengakibatkan penilaian buruk masyarakat terhadap orang yang mengucapkannya.

Jumat, 17 September 2010

Yang Pertama

Akhirnya tulisan pertama saya keluar. awalnya saya bingung mau menulis apa, saking banyaknya hal yang ingin ditulis, maklum baru awalan hehe. tiba-tiba muncul dibenak saya untuk menulis hal ini. entah kenapa saya ingin mengulasnya mungkin karena saya suka dan sering memakannya. jadinya pengen tahu lebih banyak dan pengen ngebahasnya. 
yang akan saya otak-atik disini adalah 'tempe', makanan yang sudah sangat kita kenal. saking 'terkenalnya' tempe jadi terkesan makanan biasa. padahal ada banyak fakta mencengangkan termasuk kandungan gizi tempe. memang, sudah banyak tulisan tentang tempe. saya hanya ingin belajar, maaf apabila anda yang membaca sudah bosan diskusi tentang tempe.

Guru saya pernah bertanya, (waktu itu beliau sedang menceritakan berbagi penemuan hebat ilmuwan eropa dan amerika), Apa ya penemuan asli yang dimiliki Indonesia? Semua murid berpikir tapi sya langsung nyeletuk, "tempe!". banyak yang menganggap aneh dan mengira saya cuma caper saja padahal saya serius. ada juga yang tertawa tapi kemudian membenarkan jawaban saya. Bener tidak jawaban saya?

Sebuah sumber menyatakan bahwa tempe ditemukan pada tahun 1875. Yang lebih mencengangkan dalam manuskrip serat Centini yang terbit tahun 1742 tahun Jawa atau 1815 masehi, telah ditemukan kata tempe. Hal ini menunjukkan bahwa makanan tradisonal ini sudah dikenal sejak berabad-abad lalu, terutama dalam tatanan budaya makan masyarakat Jawa, khususnya di Yogyakarta dan Surakarta.

Popularitas tempe sudah mendunia. Sebuah RS di Amerika mewajibkan pasien yang baru saja operasi untuk makan tempe karena tempe mempercepat proses pemulihan. Masyarakat Jepang, Malaysia dan Singapura mengkonsumsi tempe sebagai makanan diet.  Bahkan di Jepang dan Jerman sudah mengembangkan penelitian terhadap tempe. Pengembangan tersebut antara lain termasuk dalam 3 generasi pengembangan tempe di bawah ini :

1. Generasi 1, bentuk tempe dan rasa tempe masih tetap dan segar.
2. Generasi 2, tempe sudah diolah sehingga bentuknya berubah, namun rasanya tetap.
3. Generasi 3, tempe diproses lebih canggih dalam industri farmasi dengan mengisolasi senyawa-senyawa  bioaktif yang ada, seperti ; isoflavonoid, superoksida desmutase dan asam amino.

Jepang dan Jerman sudah sampai pada generasi kedua dan ketiga, sedangkan Indonesia masih betah di generasi pertama sejak ditemukan (mau sampai kapan ya?).

Beberapa khasiat tempe adalah sebagai berikut :
1. Menghambat proses penuaan.
2. Mencegah penyakit kanker.
3. Mencegah penyakit jantung koroner.
4. Menurunkan kolesterol.
5. Mencegah penyakit anemia.
6. Mencegah diare pada anak.
7. Melancarkan program diet.

Melihat sejarah dan khasiat tempe memberikan kebanggaan tersendiri tapi juga memperlihatkan ironi. ironi bahwa bangsa kita ini masih jadi penonton persaingan bangsa-bangsa dunia. Ayo kawan, jangan mau kalah. Inilah saatnya kita bergerak untuk perubahan, karena PERUBAHAN ITU PASTI.